Langsung ke konten utama

Saya sekolah 12 tahun, tetapi mengapa kapasitas otak saya hanya 12 kb?


Ini adalah pertanyaan ajaib pertama yang Saya terima hari ini, datang dari seorang kawan yang berusia 10 tahun lebih tua daripada Saya. Ini adalah lelucon, Saya tahu. Tetapi, ini membuat Saya berpikir keras; Apa yang salah? Siapa yang patut dipersalahkan?

Sedangkan 12 tahun itu bukanlah waktu yang singkat, jelas. Jikalau Anda belajar ilmu kanuragan di masa lampau, Saya berani jamin bahwa Anda akan menjadi pendekar sakti yang dengan mudah menguasai pernapasan air tingkat tinggi. Tetapi, ini, 12 tahun, dengan banyak guru, dengan banyaknya sumber ilmu, mengapa masih banyak orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan mana talas mana ubi, mana berita benar mana berita bohong? Mengapa masih banyak orang yang bisa membaca tapi tidak mengerti apa yang dibacanya? Terlalu banyak mengapa, sungguh.

Dan barulah ketika saya berdiri di toko tadi sore, saya menemukan jawaban yang saya cari. Jawabannya hanya satu kata, tidak rumit, terlalu gampang diucapkan, tetapi sulit sekali untuk dipraktikkan.

Dan ia adalah; Ikhlas.

Saya serius, benar-benar serius. Alasan mengapa banyak orang yang tidak bisa mengingat dan mempraktikkan dengan baik pelajaran-pelajaran yang telah diberikan kepadanya adalah tidak adanya keikhlasan yang menyertainya.

Yang pertama, tidak ikhlas dalam berangkat menuju sekolah. Hanya bersekolah karena tidak ada teman main di rumah lah, hanya bersekolah untuk mendapat uang jajan lah, hanya bersekolah untuk bertemu gebetan lah. Atau apa saja. Ikhlas belum ada jika masih ada alasan yang mengekorinya.

Dan yang kedua, tidak ikhlas dalam belajar. Hanya belajar ketika hendak ulangan, hanya belajar ketika hendak penilaian, hanya belajar ketika dilihat seseorang. Dan ujung-ujungnya, alih-alih mengerti, kita seolah hanya menghafal sesuatu yang akan hilang ketika ulangan selesai dilaksanakan.

Poin kedua inilah yang ingin diatasi oleh Menteri baru kita, untuk menghilangkan alasan-alasan yang membuat otak kita terdoktrin untuk melakukan sesuatu secara instan tapi tidak bertahan lama; belajar kebut semalam, menghafal alih-alih mencoba memahami. Istilah anak-anak di kelas saya; "Memurtadkan orang-orang dari agama yang menuhankan nilai."

Alasan ketidakikhlasan inilah mengapa pelajaran yang tidak kita dapatkan di sekolah justru bertahan lama, sebab kita mencarinya dengan tanpa embel-embel 'stick and wortel', tidak ada paksaan atasnya. Contoh paling sering kita temukan, jelas, lebih banyak orang-orang yang menguasai bahasa asing dari media hiburan (lagu, film, game), hanya ada sedikit sekali yang bisa melakukannya denga baik hanya dengan berbekal pelajaran dari sekolah.

Tetapi, sebuah pernyataan kemudian datang; Saya sudah ikhlas, tetapi tetap saja Saya tidak bisa pintar.

Barangkali, inilah saatnya kita mulai menyalahkan pihak eksternal; sistem pendidikan kita. Terlalu banyak subjek yang dipelajari, terlalu banyak jam pelajaran dalam sehari.

Saya ambil contoh kelas saya di hari Selasa. Jam pertama adalah Geografi (yang demi apa saja, sudah anak IPA, belajar geografi pula), kemudian dilanjutkan dengan olahraga. Selepas olahraga, badan penat luar biasa, panas-panasan, disambung dengan kimia. Setelah kimia, Al-Qur'an hadits yang dipenuhi hafalan dan tafsiran menunggu dengan ceria. Dan masih ada satu lagi pelajaran lain yang sudah Saya lupa apa.

Dengan terlalu banyak subjek berbeda dalam waktu yang sama, siapa yang bisa menguasai semuanya? Karena tidak bisa fokus pada satu hal, akhirnya buyar semuanya, tidak ada yang tersisa, hanya menjadi kesia-siaan belaka.

Dan pada akhirnya, kita hanya lulus dengan kertas ijazah di tangan dan pelajaran yang tak bersisa.

Menyedihkan.

Sumber : Ensiklopedia Bebas (https://www.facebook.com/groups/Ensiklopediabebas2/permalink/535218437169506/)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Positive, Negative, and Interrogative Sentences in Previous Post

Ramalan Jayabaya